Seterusnya diadakan upacara sumpah setia dalam memelihara semangat untuk mencapai cita-cita perang suci demi kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Untuk mendukung ke arah sana, setiap anak harus kuat jasmaninya sehingga
diadakanlah senam setiap pagi (taiso) dan kerja bakti (kinrohoshi). Kegiatan-kegiatan tersebut sesuai dengan suasana perang sehinggga banyak nyanyian, semboyan, dan latihan-latihan yang dihubungkan dengan persiapan
menghadapi perang.
Usaha penanaman ideologi Hakko Ichiu melalui sekolah-sekolah dan supaya terdapat keseragaman dalam maksud-maksud pemerintah pendudukan Jepang, maka diadakan latihan guru-guru di Jakarta. Tiap-tiap kabupaten/daerah
mengirimkan beberapa orang guru untuk dilatih selama 3 bulan.
Setelah selesai mengikuti latihan tersebut, mereka kembali ke daerahnya masing-masing untuk kemudian melatih guru-guru lainnya mengenai hal-hal yang mereka peroleh dari Jakarta.
Bahan-bahan pokok yang mereka dapatkan dari latihan itu adalah:
- Indoktrinasi mental ideologi mengenai “Hakko Ichiu” dalam rangka kemakmuran bersama di “Asia Raya”.
- Latihan kemiliteran dan semangat Jepang (Nippon Seisyini).
- Bahasa dan Sejarah Jepang dengan adat-istiadatnya.
- Ilmu bumi ditinjau dari segi geopolitis
- Olahraga, lagu-lagu, dan nyanyian-nyanyian Jepang.
Diluar dugaan, seakan-akan pada masa tersebut pendidikan formal berkembang dengan pesat sehubungan dengan beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Kebijakan di bidang pendidikan itu antara lain: pendidikan untuk kebutuhan perang Asia Timur Raya, hilangnya sistem dualisme dalam pendidikan, perubahan sistem pendidikan yang lebih merakyat, dan perubahan-perubahan di dalam kurikulum.
Kebijakan itu sebenarnya berbeda dengan kenyataan, karena pada zaman Jepang terjadi penurunan jumlah Sekolah Dasar, murid, dan gurunya dibandingkan dengan keadaan pada akhir masa penjajahan Belanda.
Untuk menutupi kekurangan guru, pemerintah pendudukan Jepang membuka jenis-jenis pendidikan guru. Pendidikan guru ini tidak bersifat dualistik sebagaimana terjadi pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Jenis pendidikan
guru tersebut ada tiga jenis sekolah, yaitu :
- Sekolah Guru (SG) 2 tahun, yang dinamakan Sjootoo Sihan Gakko
- Sekolah Guru Menengah (SGM) 4 tahun, yang dinamakan Guutoo Sihan Gakko
- Sekolah Guru Tinggi (SGT) 6 tahun, yang dinamakan Kootoo Sihan Gakkoo.
Pada sekolah guru yang lebih rendah, terdapat aturan-aturan yang menjalankan Kentei Siken (Ujian Pengakuan) untuk menjadi guru Sekolah Rakyat. Syarat-syarat untuk mengikuti ujian itu antara lain penduduk di Jawa, harus sudah tamat dari sekolah menengah atau sekolah yang sepadan dengan itu, berbadan sehat dan bersemangat untuk membantu pemerintah balatentara Jepang.
Kepada yang lulus ujian pengakuan diberikan surat ijazah Sekolah Rakyat sesuai jenis ujian yang diikuti. Orang yang mempunyai ijazah Kokumin Gakko Seikyooin ( guru biasa di Sekolah Rakyat) diakui sah berpengetahuan sama dengan orang yang tamat Sekolah Guru Negeri dan boleh mengajar di Sekolah Rakyat.
Adapun gajinya yang diterima oleh mereka yang lulus ujian tersebut sebesar Rp.16,- sampai Rp. 38,- rupiah sebulan. 55 rupiah untuk gaji guru.
Bagi Jepang, guru dipandang sebagai orang yang sangat dihormati. Sang guru mendapat kehormatan dengan julukan Sensei yang mempunyai kedudukan sosial yang sangat dihormati. Begitu pula oleh murid-muridnya di sekolah yang berbeda dengan sekarang (kurang penghargaan).
Jepang mungkin sangat berterima kasih kepada guru yang telah berjuang untuk mempropagandakan misinya pada masyarakat luas, khususnya para siswa. Siswa sendiri begitu tunduk, sopan, hormat, dan segan pada guru sehingga kedudukan guru pada waktu itu lebih terpandang secara jabatan ketimbang moral.
Tulisan ini dikutip dari Artikel "Guru Tiga Zaman" dalam tulisan ini mungkin tidak mewakili semua sejarah tentang pendidikan dimasa kependudukan jepang.